Terkait Kasus Jessica, Kompetensi Profesi Hukum di Indonesia Dipertanyakan


RIAU MERDEKA - Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) AAI, Astuti Sitanggang menyayangkan proses hukum kasus Jesscia lebih banyak ditonjolkan pada permainan opini publik dan bukan didasarkan pembuktian fakta.

"Permainan opini publik yang tidak didasarkan pada pembuktian fakta terus dimunculkan di luar persidangan. Selebihnya penegak hukum lebih banyak menggunakan keterangan-keterangan ahli yang dihadirkan oleh masing-masing pihak dalam menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak," kata Astuti dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Minggu (6/11)

Lebih lanjut Astuti menjelaskan, opini publik juga ikut bermain dikarenakan tingginya ekspos media mulai dari peliputan langsung proses persidangan yang tidak henti-hentinya serta diskusi-diskusi publik yang dikembangkan di stasiun media di luar proses persidangan. Hal ini justru dinilainya mengganggu independesi proses persidangan itu sendiri.

"Bahkan pejabat publik, dan politisi pun ikut beropini dalam suatu proses persidangan, sehingga dapat mengakibatkan adanya proses intervensi kekuasaan eksekutif dan legislatif ke dalam kekuasaan lembaga peradilan," sesalnya.

Karena itu AAI, kata Astuti, sangat peduli terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya profesi hukum serta proses penegakan hukum. Sebab, seperti diketahui sistem hukum di Indonesia menganut sistem di Eropa Kontinental di mana profesi hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi sentral dalam proses penegakan hukum.

Hal itu jelas berbeda dengan negara penganut common law system, di mana peran juri yang terdiri dari orang-orang yang bukan berlatar belakang profesi hukum dapat menjadi penentu dari hasil akhir dari suatu proses hukum atau persidangan.

"Karena itu, perspektif opini publik yang dikembangkan di luar proses persidangan jelas dapat mengganggu keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusannya," imbuhnya.

AAI juga menyayangkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga pengawas dalam proses penyiaran di Indonesia seolah-olah diam saja dalam hal ini. Berbeda dengan kasus Antasari Azhar misalnya, di mana KPI bersikap terhadap tayangan siaran langsung pembacaan dakwaan persidangan Antasari Azhar.

Menurutnya, pemerintah bersama DPR harus segera membahas  pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru, yang dapat mengatur lebih lanjut tentang hukum acara persidangan pidana, termasuk dalam hal keterbukaan persidangan dan peliputan media serta keterangan ahli sebagai alat bukti. Kehadiran saksi ahli harus melalui pengadilan dan bukan dari pihak (jaksa dan advokat).

"Sehingga seorang ahli dalam memberikan keterangannya betul-betul independen dalam menunjang keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusannya," terangnya. [rmol]
TERKAIT