Gubri, Bupati dan Walikota Deklarasi Anti Gratifikasi


RIAU MERDEKA - Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman tandatangani deklarasi Anti Gratifikasi bersama para pejabat bupati/walikota se Riau di Hotel Pangeran. Penandatanganan ini langsung disaksikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Alexander Marwata.

Hadir pada kesempatan ini, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rivai, Kapolda Riau Brigjend Pol Zulkarnain, para Kapolres, para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Riau, Ketua Ombudsman Perwakilan Riau Ahmad Fitri.

Tampak juga sejumlah pimpinan pelaku usaha diantaranya Direktur RAPP Rudi Fajar beserta jajarannya, serta berbagai undangan lainnya.

Dari draf Deklarasi Anti Gratifikasi yang ditandatangani tersebut, pertama tidak menerima gratifikasi, suap dan uang pelicin dalam bentuk apa pun. Kedua, tidak memberi gratifikasi suap dan uang pelicin dalam bentuk apapun, serta ketiga membangun sistem pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda), bersama membangun budaya anti gratifikasi.

Gubri dalam sambutannya menyatakan, pelayanan publik yang tidak memiliki prosedur yang jelas dapat menyebabkan munculnya berbagai tindakan yang dapat menimbulkan gratifikasi mau pun korupsi.

Karena itu, Pemerintah Provinsi Riau sendiri terus berupaya memberikan standar pelayanan dan prosedur yang jelas untuk mengantisipasi tindakan menyimpang. Karenanya, pelayanan publik dianggap menjadi area yang sangat rawan terhadap perilaku dan tindakan korupsi seperti gratifikasi, pungutan liar dan suap. Untuk mengantisipasi ini.

"Saya menyadari betapa diperlukannya komitmen untuk mengatasi perilaku dan tindakan korupsi dalam pelayanan publik," ungkap Gubri.

Sementara Ketua Ombudsman RI Amzulian Rivai  mengatakan persoalan utama lembaga di Indonesia terletak pada rendahnya kepercayaan terhadap pelayanan publik."Berdasarkan indeksi persepsi korupsi tahun 2015, negara terbaik di dunia dalam anti korupsi masih dipegang oleh empat negara di Skandinavia," ungkapnya.

Rivai menambahkan apabila pelayanan publik baik maka dapat dipastikan tingkat korupsi di suatu negara juga rendah, begitu juga sebaliknya."Jumlah pengaduan masyarakat tentang pelayanan publik ke Ombudsman mencapai 6 ribu lebih, dan tahun 2016 ini jumlahnya mendekati 10 ribu laporan," ujarnya.

Ombudsman, dikatakan Rivai, lebih fokus kepada mekanisme administrasi, berbeda dengan KPK yang fokus kepada korupsi. Mekanisasi ini akan mengarah kepada korupsi, dan suap."Jadi jangan anggap remeh mekanisasi ini. Kemudian juga bagaimana pelayanan itu tidak berlarut dalam pengurusan, bagaimana agar tidak berlarut lagi," imbuhnya.

Dari laporan yang masuk paparnya, jenis mekanisasi ini sebanyak 20,30 persen berupa tidak memberikan pelayanan, lalu penyimpangan prosedur sebanyak 18,66 persen, dan penyalahgunaan wewenang sebanyak 12,44 persen.

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mengatakan tidak hanya kepada pemerintah, KPK juga mengajak  para pelaku usaha untuk ikut dalam pemberantasan korupsi ini.

"Ketika mengajukan perijinan, agar pelaku usaha tidak berusaha melakukan suap sehingga tidak mengikuti ketentuan pusat, begitu juga kalangan birokrasi agar tidak mempersulit perijinan atau mengutip biaya yang tidak seharusnya," kata Alexander.

Alexander mengatakan pihaknya sangat prihatin karena masih banyaknya pengaduan terkait Kepala Daerah. Menurutnya, setiap tahun KPK menerima sebanyak 8 ribu pengaduan."KPK sudah mencetuskan gerakan PROFIT atau profesional dan integritas agar upaya pencegahan bisa kita lakukan salah satunya melalui deklarasi hari ini," ungkapnya.

KPK himbau agar setiap loket pelayanan publik mencantumkan biaya jika ada biayanya atau cantumkan itu gratis tanpa biaya. Ini sebagai bentuk transparansi dan ketebukaan kita terhadap publik.

Sumber : website pemprov riau
TERKAIT