Walau Ditunda, 10 Terpidana Mati Tetap Akan Dieksekusi


RIAU MERDEKA-Kejaksaan Agung (Kejagung) menunda eksekusi mati 10 dari 14 terpidana gembong narkoba pada Jumat (29/7/2016) dinihari. Kejagung menegaskan, penundaan tidak akan menghapus eksekusi. Mereka akan tetap menghadapi regu tembak.

"Akan dieksekusi yang akan datang," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Noor Rachmad, Jumat (29/7). Sayangnya, Rachmad belum bisa merinci kapan eksekusi pada 10 orang itu dilaksanakan.

Rachmad menegaskan, penundaan eksekusi pada 10 orang itu bukan karena adanya paksaan. "Tak ada paksaan," katanya.

Sementara itu, Jaksa Agung M Prasetyo memberikan penjelasan mengenai alasan penundaan eksekusi mati 10 gembong narkoba tersebut. Walau tidak diungkapkan secara terang benderang alasan penundaan eksekusi tersebut, dia menyampaikan semua berdasarkan laporan tim lapangan.

"Menjelang dilaksanakan eksekusi, Jaksa Agung Muda Pidana Umum, sebagai ketua tim di lapangan melaporkan bahwa setelah dilakukan pembahasan dengan unsur daerah, Kapolda, direktur konsuler, ternyata dari hasil pengkajian empat orang yang perlu dieksekusi," jelas Prasetyo dalam jumpa pers di Kejagung, kemarin.

Eksekusi mati jilid III yang dilakukan pada pukul 00.45 WIB itu hanya dilakukan terhadap empat terpidana, yaitu gembong narkoba Freddy Budiman asal Surabaya, Jawa Timur; Michael Titus, warga negara Nigeria; Humprey Ejike (WN Nigeria); dan Seck Osmane (WN Afrika Selatan). Keempatnya dieksekusi di Lapangan Tembak Limus Buntu, kompleks Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng).

Prasetyo memastikan, keempatnya adalah orang-orang yang punya peran penting di jaringan narkoba di Indonesia. "Saya bisa menyatakan keempat terpidana mati memiliki peran demikian penting dan besar di kalangan sindikat jaringan pengedar narkoba di Indonesia," katanya.

"Mereka adalah bandar, pemasok, penyedia bahkan sebagai pembuat, termasuk juga sebagai pengimpor dan mengekspornya kembali ke luar negeri," tambah Prasetyo.

Sedangkan untuk 10 orang yang batal dieksekusi, lanjut Prasetyo, waktu pelaksanaan eksekusinya akan ditentukan kemudian. "Ini melalui pengkajian komprehensif cermat dan mendetil menghindari kesalahan yuridis dan non yuridis," jelasnya.

"Kita tak ingin ada aspek terlangggar. Kami menerima apa yang diputuskan tim lapangan. Saya ambil tanggung jawab sepenuhnya," tegas Prasetyo.

Ia kemudian menyinggung saat awal dahulu dia memberi informasi bahwa eksekusi dilakukan kemungkinan dan kalau tidak berubah ada 14 orang. Dan laporan tim lapangan ada empat orang yang perlu dieksekusi.

"Ini belajar dari detik-detik terakhir menjelang eksekusi jilid dua ada yang harus ditangguhkan. Anda ingat Mary Jane di detik terakhir ada permintaan pemerintah Filipina karena yang bersangkutan pelaksanaan eksekusi diperlukan jadi saksi human trafficking, yang bersangkutan korban. Ini belajar dari kasus itu," katanya.

Mary Jane Veloso adalah terpidana mati kasus penyelundupan narkotika yang tertangkap di Adi Sucipto, Yogyakarta, pada 2010. Dalam eksekusi mati gelombang II, April 2015, dia menjadi satu dari dua terpidana yang eksekusinya ditunda.

Prasetyo juga memastikan pelaksanaan hukuman mati tetap akan dijalankan di Indonesia sesuai dengan amanat undang-undang. Ia pun memastikan tidak ada tekanan diplomatik yang diterima Indonesia untuk eksekusi mati jilid III dinihari kemarin.  "Saya tidak mendengar ada tekanan diplomatik, tidak ada," ucapnya.

Menurutnya, memang ada beberapa imbauan dari negara luar agar tidak melakukan eksekusi mati. Namun hal itu bukan berarti proses pelaksanaan eksekusi harus dihentikan. Mereka yang mengirim surat imbauan juga bukan dari negara yang warganya dieksekusi mati kemarin.

"Kalau imbauan ada, tapi tekanan tidak ada. Kita harus menghormati kedaulatan hukum kita. (Imbauan dari) Australia, Inggris dan lainnya tapi mereka semua harus menghormati kedaulatan hukum kita," ucap Prasetyo.[*]


TERKAIT